MENGINGAT ketangguhan Ragnar “Lothbrok” Sigurdsson sebagai tokoh utama dalam serial drama sejarah Vikings, yang diproduksi oleh jaringan televisi Kanada, History Channel, membawa kita untuk memahami tentang sebuah peradaban Bangsa Norse.
Kekuasaan, keberanian, dan kesetiaan menjadi pegangan dalam menjalani pelayaran demi menemukan hal-hal yang baru. Daratan kepulauan lain yang menyimpan rahasia alam sebagai tujuan walau kematian kerap tak bisa dihindari dalam sebuah pelayaran.
Tokoh utama Ragnar diperankan oleh Travis Fimmel dan diangkat dari kisah Ragnar Lothbrok, seorang petani dan prajurit Vikings abad ke-9 yang menyerbu desa-desa Anglo-Saxon di Inggris. Serial ini telah ditayangkan dengan Judul Vikings: Valhalla di Netflix dalam 6 seasons (enam musim). Musim pertama hadir di Netflix pada 25 Februari 2022 dengan delapan episode yang telah dirilis.
Vikings: Valhalla ialah drama sejarah Netflix Original karya Michael Hirst, dan merupakan spin-off (hasil sampingan) dari serial populer History Channel, Vikings. Serial ini diproduksi oleh MGM Productions seperti pendahulunya yang tayang selama enam musim. Produksinya sudah ditonton via Netflix di sebagian besar wilayah dunia, baik di Amerika Serikat, Inggris Raya, maupun Rusia.
Sementara, serial penuh aksi Vikings: Valhalla digarap Jeb Stuart. Semua itu memang fiksi sejarah, tetapi kisah penaklukan, penjelajahan, dan perdagangan berakar pada fakta. “Tidak mungkin membuat serial seperti Valhalla tanpa riset yang luar biasa,” kata Stuart seperti dilansir dari Netflix. “Dan kita belajar tentang dunia Vikings hampir setiap hari melalui temuan-temuan arkeologi baru.”
Sepanjang empat musim pertama, Ragnar menjalani perjalanan dari seorang petani yang riang di tanah kelahirannya, menjadi prajurit Vikings yang tangguh. Ia dan pasukannya menyerang Inggris dan menjadi seorang Earl, hingga dinobatkan sebagai Raja Denmark setelah wafatnya Raja Horik. Setelah kematian Ragnar, serial ini mengalihkan fokus ke putra-putranya.
Periode brutal
Selama berabad-abad, Zaman Viking—periode brutal, penuh petualangan, dan kompleks dari akhir abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-11—telah memikat para pendongeng. Dari perampok yang mengerikan dan haus darah hingga penjelajah mulia dan ahli pembuat kapal. Penggambaran sinematik bangsa Vikings telah menjadi permadani yang terus berubah. Mencerminkan kecemasan dan hasrat modern sekaligus masa lalu historis.
Film-film tentang Viking sedang mengalami kebangkitan penuh. Itu didorong oleh hasrat akan realisme dan fantasi epik. Persepsi publik tentang Viking sangat dipengaruhi oleh film-film awal yang mengusung romantisme abad ke-19. Citra Vikings yang klasik, namun kurang akurat secara historis—helm bertanduk—dipopulerkan melalui seni dan kostum teater, bukan bukti arkeologis, dan menjadi ciri khas film-film awal.
Genre ini menemukan pijakannya dengan film bisu seperti The Viking (1928), yang terkenal sebagai salah satu film berwarna pertama dengan soundtrack lengkap. Namun, film blockbuster (film dengan anggaran besar yang sangat populer dan sukses secara finansial) pertama yang benar-benar mengukuhkan arketipe Viking dalam budaya pop global ialah The Vikings (1958), yang dibintangi Kirk Douglas dan Tony Curtis.
Sebuah adegan dalam serial Vikings: Valhalla. (Bernard Walsh/Netflix)
Technicolor yang epik menjadi ciri khas selama beberapa dekade. Itu sebagai sebuah petualangan megah yang seringkali melodramatis dengan fokus pada tontonan, perseteruan keluarga, dan pertempuran sengit. Semua itu terlepas dari nuansa sejarah sehingga era ini seringkali memprioritaskan hiburan yang penuh aksi daripada keaslian.
Pada abad ke-21, sinema Viking telah bercabang menjadi dua tren yang berbeda dan kuat. Yaitu, epik yang kelam dan berwawasan sejarah serta tontonan fantastis yang didorong oleh mitologi. Gelombang baru sineas telah berupaya untuk menanggalkan lapisan Hollywood yang mengilap dan menyelami kekotoran, dialek, dan ritual gelap pada era tersebut.
Valhalla Rising (2009), disutradarai Nicolas Winding Refn menyajikan visi yang nyaris tanpa kata, surealis, dan sangat suram. Ia mengutamakan sifat mentah dan tak kenal ampun dari zaman itu daripada plot tradisional. Sedangkan, The Northman (2022), saga balas dendam karya Robert Eggers, yang dibintangi Alexander Skarsgard, dipuji karena komitmennya yang cermat terhadap akurasi budaya. Ia banyak mengambil inspirasi dari Saga Islandia dan temuan arkeologis.
Dari konstruksi kapal panjang dan pakaian yang sesuai dengan zamannya hingga penggambaran ritual blót (pengorbanan pagan) yang detail, The Northman bertujuan untuk imersi maksimal. Tujuannya, tak lain untuk membawa penonton ke dunia di mana sihir dan mitos terjalin dengan kenyataan.
Tren ini juga terlihat di televisi dengan acara-acara seperti Vikings dan The Last Kingdom. Menghadirkan konflik politik dan budaya yang kompleks antara bangsa Norse dan Anglo-Saxon kepada khalayak ramai dengan komitmen yang kuat terhadap kebebasan kreatif dalam alur waktu dan karakter.
Fantasi dan budaya pop
Di sisi lain, kedalaman mitologi Nordik yang menampilkan dewa-dewa seperti Odin, Thor, dan Loki, serta dunia seperti Asgard dan Valhalla telah memicu waralaba fantasi yang masif. Film-film Thor dari Marvel Cinematic Universe dan film-film blockbuster ini telah memperkenalkan dewa-dewa Nordik kepada khalayak global dan arus utama sehingga seringkali menekankan sisi mitologisnya dengan sentuhan fiksi ilmiah atau fantasi yang jauh berbeda dari kisah Vikings di masa lalu.
Sebuah adegan dalam serial Vikings: Valhalla. (Bernard Walsh/Netflix)
Bahkan waralaba ramah keluarga seperti How to Train Your Dragon menggunakan semangat Vikings yang tangguh, komunal, dan penuh petualangan. Mengusung latar belakang penceritaan yang mengharukan untuk menunjukkan fleksibilitas arketipe.
Ketertarikan yang terus-menerus terhadap arketipe Vikings—penjelajah berjiwa bebas, pejuang yang ganas, petani mandiri—berasal dari perpaduan fakta sejarah dan mistik legendaris. Meskipun para sineas seperti Eggers berupaya mencapai akurasi. Misalnya, tanpa helm bertanduk, menggambarkan kebebasan relatif perempuan, dan menunjukkan bangsa Viking sebagai pedagang dan pemukim, bukan sekadar perampok. Semua penggambaran sinematik beroperasi di ruang antara sejarah dan mitos.
Tema budaya Vikings dalam film tetap menjadi simbol yang kuat. Barangkali seperti cermin gelap yang mencerminkan keprihatinan modern tentang maskulinitas, keyakinan, dan peradaban. Entah mereka sedang menebas jalan menuju Valhalla dengan amarah yang membara atau diam-diam membangun permukiman di dunia baru. Kisah bangsa Vikings di layar lebar ialah kisah pelayaran bangsa Norse yang tampaknya ditakdirkan untuk terus berlayar. (P-3)