Oase

Penyair dan Peserta Lomba Menulis Puisi Tanpa AI berpose bersama di Balai Budaya, Jakarta, Jumat (28/6) lalu. (Postmodum/Dani Wardhana)

PADA masa depan, sebuah kompetisi puisi barangkali bukan lagi sekadar menjadi ajang adu rima dan diksi. Namun, jauh dari itu, yaitu bagaimana peserta dapat melakukan eksplorasi mendalam terhadap bentuk, medium, dan pengalaman imersif. 

Di sini, laik saya beri apresiasi setinggi-tingginya bagi peserta Lomba Menulis Puisi Tanpa AI yang digelar di Kopi Ketjil – Balai Budaya, Jakarta Pusat, pada Sabtu, (28/6) lalu. Ada tiga pemuisi muda (emerging talent) yang mampu menyajikan karya terbaik mereka sehingga dianugerahi Piala Remy Sylado. 

Saya menyebut lomba ini sebagai ajang creative writing (menulis kreatif) sebab mengedepankan pemahaman peserta pada baris-baris, inovasi, dan kemampuan. Terutama, keuletan mereka yang mampu menyentuh hati audiens dengan cara yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. 

Nah, berikut ini sajak-sajak tiga pemenang. Sore itu, di luar kafe patahan-patahan gerimis serupa taburan jarum menancapi tanah, sementara peserta menulis di atas lembaran-lembaran kertas secara langsung. Dan, kemudian dibacakan secara lantang pada sesi Postmodum Poetry Outloud di panggung kecil penuh impresif. 

Mereka ialah Juara Pertama Olga Sayyidina (23), Juara Kedua Bevan Catra Setiawan (13), dan Juara Ketiga Owen Matoga Paskahris Siregar (18). Masing-masing menghadirkan gaya, bentuk, dan pesan yang begitu mengental di ingatan saya dan rekanan penyair yang hadir. 

Baca juga : Juara Lomba Menulis Puisi Tanpa AI 

 

LAGI, DI SINI 

Olga Sayyidina

Lagi, di sini 

aku termenung di 

hadapan secarik kertas kosong 

yang hampir bolong 

di sudut kiri atas — 

di bawah namaku, 

identitasku; kemanusiaanku. 

 

Lagi, berkali kali 

aku kerap meratapi 

pikiranku yang kosong 

hening kerontang; ia melompong 

hanya karena perkara em dash 

mencuri isi kepalaku 

ciri khas; kemanusiaanku. 

 

Aku ini memang sehina-hinanya 

manusia. Aku kalah oleh algoritma, 

kalah oleh ambisi penciptaan yang 

tak ada habisnya. Aku malu akan 

kemusykilan yang melahapku dari 

dalam tatkala mereka menuding 

dengan lantang… 

bahwa aku bukan manusia. 

 

Aku sungguh ternista! 

sungguh betapa hina, 

sekiranya aku dianggap tak mampu 

untuk sekadar berkarya dan bercerita 

selayak-layaknya. 

 

Padahal yang pernah 

merasakan mati adalah aku 

bukan seonggok mesin yang 

sedari awal memang tak berjiwa! 

28 Juni 2025 

 

GENERASI PENERUS BANGSA 

Bevan Catra Setiawan

Kami bukan mimpi yang fana

kami nyata, tunas bangsa

dari tanah penuh cahaya

kami tumbuh membawa asa 

 

Tak perlu sorak dunia 

cukup suara hati dan doa 

langkah kecil pun bermakna 

jika diiringi dengan cita 

 

Kami belajar dari bumi, 

dari hujan dari pelangi 

kami tempa dalam sunyi 

menjadi kuat tak sendiri 

 

Tak perlu nama di udara 

cukup karya yang mengudara 

satu tekad, satu suara 

kami lahir untuk menaklukkan dunia 

28 Juni 2025

 

REALITA 

Owen Matoga Paskahris Siregar

Terbentur, pahitnya realita menelanku 

terbangun, cahaya matahari melahapku 

inilah aku, sang pengecut. Manusia 

yang selalu menghindar dari pahitnya 

realita. Berlindung dan terus mengutuk, 

mengapa aku terlahir? 

 

Bagaimana tidak, impianku 

sejak kecil pupus begitu saja 

bagaimana tidak, usahaku selama 

ini berujung pada hal yang sia-sia. 

 

Aku menerka, di balik kepalaku, terus 

mempertanyakan. Bagaimana bisa 

manusia yang diciptakan oleh-Nya, 

dikatakan yang paling sempurna, 

namun tergantikan. 

 

Tergantikan oleh sesuatu yang kami 

Ciptakan. Padahal besar hadapan kami 

‘sesuatu’ ini dapat membantu, namun siapa 

sangka, justru melahap kita dari dalam 


Ini malam ke-114, aku terus 

bertekuk lutut, memohon, bersujud 

kepada-Nya dan mengatakan; 

“Engkau masih bersamaku, kah Tuhan?” 

 

Beruntung aku memiliki hati dan jiwa 

karena masih bisa mengadu kepada-Nya 

yang tak seperti mereka. 

28 Juni 2025 

 

Ide tanpa AI : Analisis puisi

Sajak-sajak dari Olga, Bevan, dan Owen di atas memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana ide mereka lebih kuat dari pada penggunaan AI. Kini, tidak sedikit pemuisi muda terkadang menggunakan teknologi dan AI untuk menghasilkan karya. 

Ya, itu mengakibatkan “mantra puisi berubah menjadi mantra AI”. Untuk itu, diperlukan kepala yang dingin dan hati yang tenang agar dapat menulis secara jernih. “Ketika sedang marah, saya tidak menulis. Saya tunggu sampai amarah itu hilang dengan sendirinya. Barulah saya menulis,” ucap sastrawan Sapardi Djoko Damono saat saya bertandang ke rumahnya pada 2015 silam sebelum saya berangkat ke Rusia. 

Tak dimungkiri, kini AI hadir di tengah-tengah kita sebagai sahabat sekaligus lawan. Untuk itu, perlu bijak dalam penggunaannya sebab apa yang dipikirkan manusia tidak selalu dapat diberikan oleh robot. Namun, perkembangan AI patut diterima dengan open minded (pikiran terbuka). Kedepannya perlu diperhatikan tiga hal penting ini.  

Pertama, Puisi Generatif dan Kolaboratif: AI tidak lagi hanya menjadi alat bantu, melainkan mitra kreatif. Para penyair akan bereksperimen dengan AI untuk menghasilkan baris-baris awal yang kemudian mereka olah dan poles, menciptakan kolaborasi unik antara manusia dan mesin. Bahkan, bisa jadi ada kategori lomba khusus untuk puisi hasil kolaborasi ini. 

Kedua, Puisi Holografik dan Interaktif: Pemenang mungkin menampilkan puisi mereka dalam bentuk proyeksi holografik yang melayang di udara, lengkap dengan efek suara yang disesuaikan dengan emosi bait-baitnya. Penonton tidak hanya membaca, tetapi “mengalami” puisi melalui interaksi sentuhan atau gerakan yang memicu perubahan visual dan audio. 

Ketiga, Puisi Nirkata (Non-Verbal Poetry): Ada kemungkinan munculnya bentuk puisi yang tidak bergantung pada kata-kata sama sekali. Ini bisa berupa kombinasi visual, musik, dan gerakan yang secara kolektif menyampaikan emosi dan narasi puitis. Nah, kategori ini akan memiliki pemenang tersendiri yang inovatif. 

Terlepas dari “mantra puisi berubah menjadi mantra AI”, kehadiran Olga, misalnya, dengan judul sajaknya Lagi, Di Sini, memberikan saya berpikir kembali bahwa sebuah puisi perlu mengedepankan unsur kemanusiaan dan empati. Di tengah hiruk-pikuk teknologi, puisi akan tetap menjadi wadah penting untuk menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan pengertian antar individu. 

Sedangkan Bevan lewat sajaknya Generasi Penerus Bangsa, mengusung pandangan pribadinya untuk menatap masa depan dengan belajar giat. Kelak di kemudian hari semoga berhasil sebagai tanggung jawab pribadinya. Begitu pula Owen, gaya puisinya sederhana dan berkutat pada pengalaman pribadi. 

Para pemenang Lomba Menulis Puisi Tanpa AI telah menerima Piala Remy Sylado. Mereka telah membuktikan bahwasanya olah rasa dan pikiran kritis menjadi penting dalam proses menulis kreatif. Semoga suatu hari nanti, sajak-sajak mereka ini dapat diadaptasi ke berbagai medium. Mulai dari film pendek, instalasi seni publik, hingga pengalaman realitas virtual (VR). 

Memang, perlu sekali digarisbawahi di sini secara proporsional. Perjalanan tiga pemuisi muda ini masih panjang. Butuh pembuktian selanjutnya, baik secara akademis, spiritual, mental, maupun kekaryaan yang dapat diterima luas oleh masyarakat di Republik ini. 

Sebagai orang yang dimintai sebagai juri Lomba Menulis Puisi Tanpa AI, saya pikir kompetisi indie ini sebagai titik awal menuju festival multidisipliner. Di mana gagasan-gagasan paling berani dan kreatif akan bersaing untuk meraih pengakuan. Mendorong batas-batas seni. Dan, terus mengingatkan kita akan esensi menjadi manusia di masa yang terus berubah. (P-2

Related posts

Juara Lomba Menulis Puisi Tanpa AI 

Piala Remy Sylado untuk Emerging Talent 

Lomba Menulis Puisi Tanpa AI