TIGA pemuisi muda berbakat (emerging talent) berhasil meraih Piala Remy Sylado pada ajang Lomba Menulis Puisi Tanpa AI yang digelar secara langsung di Kopi Ketjil – Balai Budaya, Jakarta Pusat, pada Sabtu, (28/6).
Perlombaan yang diinisiasi oleh Postmodum ini sebagai bentuk apresiasi bagi para penulis di sekitar Jabodetabek dalam menyajikan karya secara jernih, murni, dan orisinal tanpa penggunaan artificial intelligence (AI) yang masif terjadi dalam dunia sastra.
Olga Sayyidina. (Postmodum)
Ketiga pemenang Lomba Menulis Puisi Tanpa AI, yaitu Juara Pertama diraih Olga Sayyidina (Jakarta) dengan judul karya Lagi, Di Sini. Juara Kedua digapai Bevan Catra Setiawan dengan judul karya Generasi Penerus Bangsa (Tangerang), dan Juara Ketiga disapu Owen Matoga Paskahris Siregar (Bekasi) dengan judul karya Realita.
Selain Piala Remy Sylado, masing-masing pemenang juga mendapatkan apresiasi berupa uang tunai dengan total Rp1 juta dan bingkisan kecil sebagai perangsang agar mereka terus berkarya di usia yang masih muda dalam khazanah perpuisian di Tanah Air.
“Saya sangat mengapresiasi pemenang pada Lomba Menulis Puisi Tanpa AI ini. Terus berkarya di usia yang masih muda. Pemanfaatan AI sangat penting, namun diperlukan orisinalitas sehingga diharapkan karya sastra dapat memberikan manfaat bagi orang lain,” ujar Prof (Hon) M Wahid Supriyadi, Penulis Buku Diplomasi Ringan dan Lucu: Kisah Nyata, di sela-sela acara.
Pada Lomba Menulis Puisi Tanpa AI, puluhan peserta datang dan menulis puisi secara langsung ke lokasi. Ada yang berlatar belakang sebagai pelajar, mahasiswa, dan pekerja kreatif. Mereka terlihat antusias menulis di secarik lembaran kertas dengan harum aroma kopi memenuhi langit-langit Kopi Ketjil.
Para peserta menulis secara fokus, cekatan, dan santai dengan pengawasan panitia melalui kamera CCTV. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah dan menghindari terjadinya kecurangan, terutama penggunaan ponsel seluler.
Kesadaran menulis kreatif
Ketua Dewan Juri Lomba Menulis Puisi Tanpa AI sekaligus Kulturolog Iwan Jaconiah mengatakan penggunaan AI secara bijak dapat mendatangkan manfaat dan malapetaka dalam perkembangan dunia puisi kontemporer Indonesia. Untuk itu, diperlukan kesadaran dalam menulis kreatif dengan hati sebab apa yang dipikirkan penyair tidak selamanya dapat dipenuhi oleh AI.
Bevan Catra Setiawan. (Postmodum)
“Perkembangan AI sangat penting dalam peradaban kebudayaan dunia. Manusia dituntut untuk menerima AI sebagai alat bantu kreatif sebab itu teknologi mutakhir. Namun, saya menaruh apresiasi bagi peserta yang datang kehujanan dan mampu menulis puisi sendiri dengan kejernihan hati, keuletan, dan pikiran logis,” jelas penulis antologi puisi Huh! itu.
Sementara itu, di tempat yang sama Pendiri Kopi Ketjil Baby Rombe mengungkapkan terbuka untuk penyelenggaraan kegiatan berpuisi dengan suasana yang lebih santai bagi penikmat kopi. Apalagi, pihaknya juga menerapkan potongan harga 15 persen selama lomba berlangsung. “Puisi, kopi, dan kafe sangat cocok. Di sini ada kopi khas dari daerah-daerah di Indonesia. Kami ambil langsung dari petani-petani sendiri,” paparnya.
Pada kegiatan tersebut juga dibuka sesi poetry open mic di podium secara bebas dan atraktif. Para peserta berbaur bersama sastrawan, seniman, dan pengunjung membacakan puisi bersama dengan penuh penjiwaan di bawah gerimis Jakarta.
Hal menarik, yaitu kegiatan yang sedianya hanya berlangsung selama tiga jam. Namun, dengan adanya open mic maka tidak sedikit sejumlah pelukis yang juga ambil bagian ikut berdeklamasi ria. Semua larut dalam sukacita oleh karena pembacaan puisi yang memberikan energi positif.
Owen Matoga Paskahris Siregar. (Postmodum)
Mereka membaca karya-karya yang sangat terkenal, seperti milik penyair Joseph Brodsky, Sapardi Djoko Damono, Osip Mandelstam, Chairil Anwar, Iwan Jaconiah, dan puisi-puisi terbaik dari para pemenang Lomba Menulis Puisi Tanpa AI.
“Saya senang mengambil bagian dalam lomba ini. Tahu informasi seh dari media sosial sehingga langsung datang ke sini. Saya senang dengan puisi karena berlatar belakang pendidikan S1 Sastra Rusia di Universitas Padjadjaran,” pungkas Olga, seraya menunjukkan piala yang baru diraihnya.
Di tempat yang sama, Owen menuturkan terinspirasi dari kondisi sosial masyarakat di sekitarnya sehingga ia menuangkan ide-ide ke dalam puisi. Baginya, puisi telah menjadi bagian yang menyenangkan sehingga ia menjadikan ajang lomba tersebut sebagai bagian proses kreativitas dalam menulis.
Owen mengaku senang karena datang ke lomba. Ia juga bertemu dengan teman-teman baru sehingga dapat mendukung kegiatan-kegiatan positif yang sifatnya dapat membangun dunia kepenulisan. “Awalnya, saya suka membaca buku dan menulis atikel. Suka dengan persoalan sosial sehingga saya menulis, baik esai maupun puisi,” tutupnya.
Di luar kafe, hujan perlahan-lahan mereda. Satu per satu melangkah pergi meninggalkan Balai Budaya. Ada yang bergegas cepat karena mengejar LRT dan MRT. Ada yang memesan ojek online. Dan, ada pula yang terburu-buru pergi dengan mobil pribadi. Para pemenang dengan senyum lebar melangkah menembus temaram lampu-lampu Kota Jakarta. (P-1)