Gulag, Masa Silam Rusia yang Dikenang Kembali

LORONG remang-remang. Dari jendela, nampak sebuah menara penjaga kayu yang dahulunya pernah dipakai untuk memantau aktivitas para tahanan kerja paksa di era Uni Soviet. Tower kecoklatan itu masih berdiri tegak sebagai saksi sejarah kekelaman rezim Joseph Stalin.

Ya, Museum Gulag, pusat sejarah bagi orang-orang hilang, terletak di Kota Moskwa, Rusia. Kisah-kisah pilu penindasan atas bangsa sendiri dihadirkan kepada publik setempat. Museum ini memberikan pelajaran penting bagi generasi muda Rusia kekinian akan arti penting perjalanan sebuah bangsa.

Betapapun kelam, itu semua ialah cermin untuk terus melangkah ke masa depan. Museum Gulag memberikan suguhan edukasi tentang luka bangsa Rusia di masa lalu. “Sejarah Gulag ialah cermin akan sebuah masa gelap yang pernah dilalui masyarakat semasa Stalin berkuasa,” ujar Archom Fedorovich, seorang pengunjung museum, beberapa waktu lalu.

Museum sejarah kontemporer ini diinisiasi pada 2001 oleh Anton Vladimirovich Antonov-Ovseenko. Ia adalah seorang sejarawan dan tokoh masyarakat terkenal. Gulag lebih dikenal sebagai kamp Stalin, sang putra “musuh rakyat”. Keberadaan museum dibawah naungan Dinas Kebudayaan Moskwa.

Pameran pertama dibuka pada 2004 di gedung lama yang terletak di Jalan Petrovka. Bagian dari pameran ini adalah rekonstruksi detail kehidupan sehari-hari di kamp. Menampilkan koleksi seperti pecahan barak tahanan, sel hukuman, dan menara penjaga di halaman. Ruang pameran utama hanya menempati 100 meter persegi.

Pada 2012, berdasarkan keputusan Pemerintah Moskwa, Gedung baru museum dipindahkan ke Jalan Samotechny Lane 1. Luasnya empat kali lebih besar dari seluruh bangunan museum di Petrovka. Selama dua tahun, telah dilakukan rekonstruksi besar-besaran dan penataan ulang gedung untuk kebutuhan museum. Pameran pertama di gedung baru dibuka pada 30 Oktober 2015. Pada 2024, museum ini menjadi penting karena koleksi lengkap dipajang permanen kepada pengunjung.

Saat memasuki setiap ruangan demi ruangan, saya seakan-akan dibawah untuk memasuki kamp Soviet yang menyeramkan. Pintu-pintu diberikan nomor sesuai urutan. Menunjukkan itu adalah pintu penjara. Ada yang berukuran 1 meter hingga 2 meter.

Kerja paksa

Ruangan pameran tetap menceritakan tentang awal tahanan kerja paksa diberlakukan. Mulai dari pembentukan sistem hukuman pada 1918–1956 dan pengaruhnya terhadap nasib manusia. Sedangkan pameran sementara memungkinkan pengunjung untuk membenamkan diri. Terutama, dalam episode sejarah individual dan mengkaji secara komprehensif fenomena represi massal.

Salah satu kisah menarik dalam pameran, yaitu pajangan foto seorang tahanan asal Jepang bernama Kinmasa Katsuno (1901-1984). Ia ditahan di kamp karena dianggap mata-mata. Kisah pilu tentang hari-hari suram dilewatinya dengan kesabaran. Namun, dengan perjuangan dan bantuan Kedutaan Besar Jepang di Moskwa, akhirnya ia bisa dibebaskan. Katsuno akhirnya kembali ke kampung halaman dan bekerja di bidang pertanian hingga akhir hidupnya.

Kisah lainnya, yaitu Varlam Shalamov (1907-1982), seorang penulis dan penyair prosa Soviet Rusia. Ia paling dikenal sebagai penulis prosa pendek dan esai “Kolyma Stories”. Nasibnya juga nahas karena dituduh subversif. Ia ditahan dan dipenjara sehingga hari-hari gelap diabadikan lewat puisi.

Nasib di penjara tidak membuat para tahanan menyerah. Penulis dan jurnalis Rusia Alexander Solzhenitsyn (1918-2008) juga mengalami tahanan kamp. Padahal, ia bertempur dalam Perang Dunia II, mencapai pangkat kapten artileri membela negaranya. Namun pada 1945, ia ditangkap karena menulis artikel-artikel yang mengkritik Stalin.

Solzhenitsyn menghabiskan delapan tahun di penjara dan kamp kerja paksa. Setelah itu, ia menghabiskan tiga tahun lagi di pengasingan paksa. Pada 1956, ia direhabilitasi dan diizinkan menetap di Ryazan, Rusia Tengah, di mana ia menjadi guru matematika dan menulis novel.

Dari pengalaman hidup di kamp tahanan, Solzhenitsyn melahirkan karya-karya terbaik, antara lain “Kepulauan Gulag” (1969-1989), “Di Lingkaran Pertama” (1973), “Roda Merah” (1968), “Matryonin’s Dvor” (1963), “Suatu Hari dalam Kehidupan Ivan Denisovich” (1962), dan “Pembangunan Kanker” (1975). Selain karya yang biasanya menyentuh isu-isu sosial-politik yang mendesak, ia juga dikenal luas karena karya jurnalistiknya tentang sejarah Rusia pada abad ke-19 dan ke-20.

Kegigihan Solzhenitsyn dalam menulis membawanya mendapatkan Hadiah Nobel Sastra 1970. Semua atas kekuatan etis yang ia gunakan dalam menjalankan tradisi sastra Rusia yang sangat diperlukan. Bukunya “The Gulag Archipelago” adalah sebuah karya yang sangat berpengaruh dan merupakan tantangan langsung bagi dunia sastra.

Refleksi bangsa

Keberadaan Museum Gulag memberikan pelajaran tentang refleksi bangsa Rusia terhadap nilai kehidupan manusia. Jika kita menengok ke Indonesia, sesungguhnya juga pernah terjadi tragedi politik, yaitu pembantaian kemanusiaan 1965. Peristiwa itu dapat menjadi kajian ilmuwan di Tanah Air agar kelak dapat direkomendasikan untuk menghadirkan “Museum 1965” atau sejenisnya.

Duta Besar Indonesia untuk Rusia Jose Antonio Morato Tavares mengaku terpukau dengan koleksi-koleksi Museum Gulag. Ia bersama istrinya Fitria Wibowo sering mengunjungi museum tersebut. Di mata Jose, museum dapat menjadi wadah edukatif yang sangat penting. Apalagi, memuat informasi kekelaman suatu bangsa sekalipun.

“Saya sangat terpukau melihat koleksi, seperti pintu-pintu yang dulunya pernah digunakan di kamp tahanan Soviet di Museum Gulag ini. Kini dipajang sebagai bagian pameran permanen. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia, peristiwa di masa lalu, semisal tragedi 1965, dapat direkonstruksi kembali dan dijadikan museum khusus seperti Gulag ini,” jelas Jose.

Matahari awal musim semi perlahan condong ke barat. Para pengunjung mulai melangkah meninggalkan museum. Satu per satu dipersilakan menuliskan pesan dan kesan di keras putih yang tersedia di pintu keluar pameran.

Ya, Museum Gulag, sebuah tempat laik untuk dikunjungi bagi wisatawan Indonesia yang ingin bertamasya ke Moskwa. Sangat cocok bagi para peneliti yang ingin mengetahui tentang sejarah kerja paksa di era Stalin. Museum Gulag menyimpan kisah pilu namun bahagia. (P-2)

Related posts

Musée du Louvre, Di Luar Tatapan Monna Lisa

Saint Petersburg: Kota Abadi dengan Permata Mahkota Budaya, The Hermitage