BEGITULAH! Chairil Anwar (1922-1949) tetap menjadi salah satu tokoh paling penting dan menggetarkan dalam sejarah sastra Indonesia. Hidupnya singkat 26 tahun, namun penuh semangat. Sebab, ia berhasil membentuk kembali lanskap puisi Indonesia.
Ia adalah seorang pelopor, seorang pemberontak, dan pemantik suara hati yang terus bergema dengan energinya yang murni, kemandirian yang kuat, dan pertanyaan eksistensial yang mendalam.
Chairil muncul di masa pergolakan sejarah Indonesia, di ambang dan selama perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Namun, puisinya sebagian besar melampaui slogan-slogan politik yang gamblang. Sebaliknya, ia mendalami tema-tema universal tentang individualitas, kematian, cinta, dan pencarian jati diri yang tak kenal lelah.
Ia memperjuangkan “kebebasan” dalam ekspresi puitis. Melepaskan diri dari gaya-gaya yang lebih tradisional. Dan, seringkali sebagai didaktik yang lazim pada masa itu. Itu sebabnya, ia selalu dikenang sepanjang zaman.
Bahasa puisi Chairil ramping, tajam, dan lugas. Menyingkirkan metafora berbunga-bunga dan kiasan klasik yang menjadi ciri khas sebagian besar puisi Indonesia pra-perang. Ia merangkul bahasa sehari-hari dan bahasa rakyat. Menyuntikkan dinamisme dan spontanitas yang revolusioner.
Inovasi linguistik ini, dipadukan dengan pilihan tematiknya yang berani, membuat Chairil dijuluki “Pelopor Angkatan ’45”. Ia masuk dalam sekelompok sastrawan yang berupaya menempa identitas Indonesia baru melalui karya seni mereka.
Kehidupan pribadi Chairil sama tidak konvensionalnya dengan puisi-puisinya. Ia dikenal karena gaya hidup bohemian, semangatnya tak kenal lelah, dan kemandiriannya begitu kuat. Energi tak terkendali ini mendorong karya-karyanya yang kreatif, menghasilkan puisi yang relatif kecil, namun sangat berdampak.
Hasil karya Chairil terdiri dari puisi dan prosa, baik berupa puisi dan prosa asli, saduran maupun terjemahan. Menurut Hans Bague Jassin, Chairil telah menulis 72 sajak asli (satu dalam bahasa Belanda ), dua sajak saduran, 11 sajak terjemahan, tujuh prosa asli (satu dalam bahasa Belanda), dan empat prosa terjemahan.¹
Dengan demikian semua karya Chairil berjumlah 96 judul. Kumpulan sajak Chairil yang pertama kali diterbitkan ialah Deru Campur Debu oleh PT. Pembangunan Jakarta pada 1949. Kumpulan sajaknya yang kedua Kerikil Tajam, dan Yang Terempas Dan Yang Putus diterbitkan oleh Pustaka Rakyat pada 1949 itu juga.
Di samping itu, masih terdapat beberapa sajak Chairil yang dikumpulkan bersama-sama sajak Asrul Sani dan Rivai Apin dalam sebuah buku yang diberi judul Tiga Menguak Takdir, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1950. Sedangkan sajak-sajak Chairil yang belum termasuk dalam ketiga buku tersebut dikumpulkan oleh Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, diterbitkan oleh PT. Gunung Agung pada 1956.²
Warisan Chairil sangat besar. Ia tidak sekadar merevolusi bentuk dan isi puisi Indonesia. Jauh dari itu, ia juga menanamkan rasa percaya diri dan modernitas dalam suara sastra di Republik ini. Puisi-puisinya masih banyak dipelajari, dibacakan, dan dirayakan.
Semuanya itu menawarkan kilasan abadi ke dalam hati seorang penyair yang berani tampil beda dan menempa jalan baru bagi sastra Indonesia. Ini hari peringatan 103 Tahun Chairil Anwar. Nah, berikut ini tiga puisinya yang paling terkenal. Menampilkan gaya dan tema yang khas. Terutama, aliran ekspresionisme di samping individualis.
Aku
Mungkin ini puisi yang paling ikonik. Aku adalah deklarasi diri yang kuat, ketahanan, dan tekad yang teguh untuk hidup, bahkan dalam menghadapi kematian.
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang’ bisa merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Karawang-Bekasi
Puisi ini merupakan refleksi tajam dan pedih atas pengorbanan yang dilakukan selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan fokus pada para pahlawan anonim yang gugur dalam pertempuran.
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.³
1948
Senja di Pelabuhan Kecil
Puisi liris dan melankolis ini dibuat untuk Sri Ajati, Mengeksplorasi tema kesendirian, kerinduan, dan perjalanan waktu. Bait demi baitnya dijiwai dengan rasa pasrah yang tenang.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Ketiga puisi di atas, tentu saja di antara puisi-puisi lainnya, mengukuhkan posisi Chairil sebagai raksasa sastra Indonesia. Komitmennya yang teguh terhadap kebebasan artistik, kejujuran emosionalnya yang lugas, dan inovasi linguistiknya yang inovatif terus menginspirasi generasi penyair dan pembaca. Semua ini menjadikan Chairil sebagai simbol abadi warisan sastra Indonesia yang semarak. (P-1)
Referensi:
¹ Hans Bague Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Gunung Agung, Cetakan IV, 1978, hal 49.
² Sri Sutjianingsih, Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya, Department Kebudayaan dan Pariwisata, 2009, hal 23.
³ Pamusuk Eneste (ed), Chairil Anwar: Aku ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942-1949), Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 17 & 108.