MELANGKAH memasuki ruangan utama pameran seni, mata saya tertuju langsung kepada sebuah lukisan yang dibatasi dengan besi alumunium sebagai pelindung. Sebagaimana di museum atawa galeri berkelas dunia, memang hal itu wajar adanya agar pengunjung tidak menyentuh karya secara langsung.
Ya, di ruangan utama, nampak jelas lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro (cat minyak pada kanvas, 112 x 178 cm, 1857). Karya ini sering disebut “Perang Diponegoro” dalam berbagai diskusi yang lebih luas karena temanya.
Saleh melukis karya tersebut sebagai komentar yang kuat terhadap kolonialisme. Terutama, jika dibandingkan dengan karya pelukis Belanda Nicolaas Pieneman (1809–1860) sebelumnya, Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock (1830–1835).

Hardi, Diponegoro (cat minyak pada kanvas, 100 x 80, 2012). (Postmodum)
Saleh, seorang bangsawan Jawa yang belajar di Eropa, menciptakan lukisannya pada 1857, beberapa dekade setelah peristiwa penangkapan Diponegoro pada 1830. Jarak waktu dan perspektifnya yang unik sebagai seniman Jawa secara mendalam membentuk pesan anti-kolonialnya.
Karya Penangkapan Pangeran Diponegoro tersebut tersaji dalam Pameran Bersama bertajuk “Nyala: 200 Tahun Perang Diponegoro” yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 22 Juli – 15 September 2025. Selain suguhan karya pelukis maestro, ada juga karya-karya pelukis kekinian.
Sebagai inti pameran, Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Saleh sangat mengkritik kolonialisme. Hal itu terlihat jelas sebab masterpiece itu ditaruh di posisi depan ruangan pameran yang langsung dilihat oleh pengunjung saat memasuki ruang pameran.
Merebut Kembali Narasi.
Lukisan Saleh secara luas dipandang sebagai respons langsung dan subversi terhadap penggambaran Pieneman. Karya Pieneman menggambarkan Diponegoro sebagai sosok yang tunduk, bahkan kalah, menuruni tangga untuk menemui Jenderal De Kock, yang berdiri tegak dan penuh kemenangan. Narasi visual ini berfungsi untuk melegitimasi otoritas Belanda dan menggambarkan kekalahan Diponegoro sebagai kemenangan yang nyata bagi kekuatan kolonial.
Dengan memberi judul lukisannya “Penangkapan”, Saleh segera membingkai ulang peristiwa tersebut bukan sebagai penyerahan diri secara sukarela, melainkan sebagai tindakan penangkapan yang berbahaya. Hal ini menyoroti tipu daya yang digunakan oleh Belanda (konon, Diponegoro ditangkap selama perundingan damai), yang menekankan ketidakadilan dan pengkhianatan yang melekat dalam pertemuan kolonial tersebut.
Dalam lukisan Saleh, Diponegoro digambarkan dengan martabat dan rasa marah atau pembangkangan yang nyata. Wajahnya tegas, tangan kirinya mengepal, menunjukkan gejolak batin dan keengganan untuk menyerah. Ia berdiri sejajar dengan De Kock, secara visual menegaskan statusnya yang setara terlepas dari keadaan. Hal ini sangat kontras dengan penggambaran Pieneman tentang Diponegoro yang putus asa dan kalah.
Merusak Keagungan Kolonial.
Sejarawan seni seperti Werner Krauss berpendapat bahwa Saleh secara halus menyindir para perwira Belanda dengan menggambarkan kepala mereka yang terlalu besar untuk tubuh mereka. Dalam budaya Jawa, fitur-fitur yang dilebih-lebihkan tersebut dapat menyiratkan “raksasa” (iblis), yang secara efektif mengurangi kekuatan mereka yang dirasakan dan menggambarkan mereka sebagai sesuatu yang aneh atau bahkan tak berdaya dalam arti budaya. Kritik tersembunyi ini akan beresonansi dengan penonton Jawa, sementara berpotensi luput dari perhatian penonton Eropa.
Dalam lukisan Saleh, kita tidak menemukan adanya bendera Belanda. Tidak seperti lukisan Pieneman, yang menonjolkan tiga warna Belanda, Saleh sengaja menghilangkan bendera Belanda yang terlihat. Pilihan artistik ini semakin mengurangi penekanan kemenangan Belanda dan menegaskan perspektif yang lebih pribumi terhadap peristiwa tersebut.
Jika kita lihat secara teliti, intensitas emosional tokoh-tokoh Jawa. Terutama, perempuan yang putus asa di kaki Diponegoro (sosok yang tidak ada dalam catatan sejarah dan kemungkinan ditambahkan oleh Saleh untuk melambangkan tanah air yang berduka), kontras dengan ekspresi statis para perwira Belanda yang hampir seperti mannequin atau patung peraga. Hal ini menyoroti dampak kemanusiaan dan emosional dari tindakan kolonial terhadap masyarakat Jawa.
Keaslian Latar dan Suasana.
Latar belakang Saleh dalam lukisan ini konon lebih akurat mencerminkan lingkungan Jawa, yang tidak mungkin ditangkap oleh Pieneman, yang belum pernah mengunjungi Jawa. Detail halus ini memperkuat perspektif penduduk asli dan mendasarkan peristiwa tersebut pada konteks geografis dan budaya aslinya, alih-alih latar belakang Eropa yang umum.
Suasana keseluruhan lukisan Saleh ialah situasi ketegangan dan kesuraman, alih-alih kemenangan gemilang. Sosok-sosok yang berkelompok dan ekspresi mereka berkontribusi pada rasa malapetaka yang akan datang dan ketidakadilan situasi tersebut.
Sentimen Proto-Nasionalis.
Meskipun beberapa interpretasi awal mempertanyakan nasionalisme Saleh karena pendidikan Eropanya dan fakta bahwa ia menghadiahkan lukisan itu kepada Raja William III, kajian yang lebih baru memandang lukisan tersebut sebagai proto-nasionalis. Dengan menampilkan Diponegoro secara bermartabat dan menyoroti pengkhianatan Belanda, Saleh secara halus namun kuat menyampaikan pesan perlawanan dan semangat pantang menyerah rakyat Jawa terhadap penindasan asing.
Terlepas dari kompleksitas historis posisi Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro telah menjadi simbol ikonik perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Karya ini telah diadaptasi dan diinterpretasikan ulang oleh para seniman Indonesia di kemudian hari untuk terus mengangkat isu-isu kolonialisme, sengketa tanah, dan ketidakadilan, yang memperkuat posisinya sebagai pernyataan anti-kolonial.
Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Saleh ini lebih dari sekadar penggambaran historis. Karya tersebut berfungsi sebagai sanggahan artistik yang canggih. Menghadirkan rasa nasionalisme kepada pengunjung yang datang melihat pameran Nyala.
Raden Saleh secara halus menyindir para perwira Belanda dengan menggambarkan kepala mereka yang terlalu besar untuk tubuh mereka. (Werner Krauss)
Simbol figuratif
Tak diayal, di era yang dipenuhi avatar digital dan tren daring yang cepat berlalu, sebuah narasi tandingan yang kuat muncul dari dunia seni. Para seniman kembali terlibat dengan tradisi seni figuratif yang abadi. Mereka bukan hanya untuk menggambarkan wujud manusia. Namun, untuk membedah dan mendefinisikan ulang esensi kepahlawanan di dunia kontemporer kita yang kompleks tanpa batas sekat seni.
Berlalu sudah masa-masa di mana hanya figur-figur monumental dan sempurna di atas alas marmer yang dipuja. Pameran seni masa kini menantang gagasan konvensional tentang keberanian, menyoroti individu sehari-hari, para pejuang yang tak dikenal, dan tindakan keberanian diam-diam yang seringkali luput dari perhatian.
Pemilihan seni figuratif yang disengaja mendasari narasi-narasi ini, memungkinkan penikmat seni untuk terhubung pada tingkat kemanusiaan yang mendalam. Memaknai setiap karya secara subyektif. Aspek penting dari eksplorasi kepahlawanan modern ini terletak pada inklusivitasnya yang disengaja.
Secara historis, penggambaran pahlawan didominasi oleh laki-laki, seringkali mewujudkan sifat-sifat stereotip kekuatan dan agresi. Namun, para seniman kontemporer sedang membongkar bias-bias ini, menghadirkan representasi kepahlawanan yang lebih bernuansa dan beragam.

Misbach Tamrin, Peran Perang Diponegoro dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (cat minyak pada kanvas, 157 x 620, 2025). (Postmodum)
Mungkin aspek yang paling menarik dari interpretasi modern tentang kepahlawanan ini ialah penerimaan terhadap ketidaksempurnaan. Tidak seperti dewa-dewa yang sempurna dan para pejuang legendaris di masa lalu, para pahlawan masa kini sering digambarkan dengan kerentanan, keraguan, dan kompleksitas mereka yang terungkap. Hal ini sangat beresonansi dengan penonton yang bergulat dengan dunia yang semakin tidak pasti.
Kanvas figuratif, yang memungkinkan wajah dan kisah mereka yang terukir menjadi karya seni itu sendiri. Emosi yang lugas dan kebenaran yang tak terbantahkan dalam karya-karya ini menantang para penikmat seni untuk menghadapi definisi mereka sendiri tentang kekuatan dan menemukan inspirasi dalam pengalaman manusia bersama.
Selain karya Saleh, di sisi kiri ruangan utama Galeri A terdapat karya Daoed Joesoef berjudul Perang Diponegoro (cat minyak pada papan, 100 x 150, 1946). Sementara di sisi kanan, terdapat karya Basoeki Abdullah berjudul Pangeran Diponegoro Memimpin Pertempuran (cat minyak pada kanvas, 120 x 150 cm, 1950).
Untuk mendefinisikan ulang kepahlawanan Diponegoro, seniman yang terlibat dalam pameran Nyata menghadirkan juga corak figuratif yang menarik. Sebut saja, Misbach Tamrin berjudul Peran Perang Diponegoro dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (cat minyak pada kanvas, 157 x 620, 2025).
Lalu, I Wayan Adnyana berjudul The Hero from Java Diponegoro (tinta dan cat akrilik pada kanvas, 160 x 200 cm, 2024). Dan, Nasirun berjudul Rampogan (cat minyak dan akrilik pada kanvas, 145 x 200 cm, 2023).
Menteri Kebudayaan Fadli Zon hadir membuka pameran “Nyala: 200 Tahun Perang Diponegoro”. Menurutnya, keteladanan Pangeran Diponegoro dapat menjadi semangat nasionalisme bagi generasi muda lewat pemahaman akan karya seni.
Di luar gedung, pengunjung terus berdatangan silih berganti. Sedang beberapa pekerja sibuk memperbaiki paving block yang rusak di kompleks Galeri Nasional. Renovasi sebagian ruangan dan fasilitas seperti toilet sedang dilakukan. Semua demi mendatangkan kenyamanan bagi pengunjung yang datang sekadar untuk melihat perkembangan seni lukisan figuratif Indonesia. (P-2)